Artikel Ditulis oleh Leonardo Mahasiswa MBA di President Univeristy

Sejak Covid datang, ketakutan masyarakat akan terkenanya Covid sangat tinggi. Banyak orang akan berusaha menjaga diri dengan cara diam di rumah, memakai, masker dan menjaga jarak dengan orang lain. Namun berbelanja tetap harus dilakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semenjak pemerintah membuat aturan baru tentang New Normal, sebagian masyarakat sudah memberanikan diri keluar rumah untuk berbelanja. Selama berbelanja, konsumen setidaknya akan berinteraksi dengan objek, seperti membelinya atau hanya sekedar melihat.

Menurut penelitian O’Reilly (1984), 76% responden survei menunjukkan bahwa konsumen tidak akan membeli pakaian dalam bekas, dan 20% konsumen menolak untuk membeli mantel bekas. Alasan terbesar penolakan konsumen dalam membeli barang bekas adalah rasa takut akan terkontaminasinya dengan barang tersebut. Menurut konsumen, kepemilikan asli barang tersebut tetap anonim, sehingga perasaan ini tidak dapat didasarkan pada asosiasi melainkan keyakinan konsumen bahwa pakaian tersebut telah terkontaminasi hanya karena sebelumnya telah digunakan dan dimiliki oleh orang lain.

Kotler dan Mantrala (1985) menyatakan bahwa kontaminasi yang muncul dari kontak konsumen yang tidak disengaja juga menyebabkan rendahnya nilai produk tersebut. Devaluasi ini harus dimanifestasikan oleh evaluasi dan niat beli yang lebih rendah untuk produk yang disentuh daripada produk yang tidak disentuh.

Dalam konteks yang berbeda telah menunjukkan bahwa orang dapat memiliki tanggapan positif dan negatif terhadap objek yang telah disentuh oleh orang lain, meskipun orang enggan dan tidak nyaman melakukan kontak fisik dengan objek yang telah digunakan oleh orang yang tidak disukai penelitian ini menunjukkan bahwa mereka terkadang mengevaluasi objek yang digunakan oleh orang yang mereka sukai dengan lebih baik misalnya, hamburger dengan gigitan yang digigit oleh kekasihnya. Hal ini umum bagi konsumen untuk mencoba artikel pakaian atau membolak-balik majalah, tetapi setelah memutuskan untuk melakukan pembelian, konsumen akan memilih majalah yang “fresh” dari bagian belakang konter. Adapun konsumen yang sama sekali tidak mau menyentuh produk, dan sulit untuk mengatur perilaku kontaminasi (customer contamination) dari konsumen?.

Sebagai contoh, terdapat toko baju yang menjual kaos baru. Kaos tersebut masih baru dan stoknya sangat terbatas yang dimana kaos baru ini terletak di tiga lokasi berbeda. Lokasi pertama adalah ruang ganti untuk konsumen mencoba, lokasi kedua di rak pengembalian yang raknya terletak di dekat ruang ganti, dan lokasi ketiga di rak yang jauh dari ruang ganti. Dengan atau tanpa Covid, konsumen akan lebih memilih untuk membeli kaos yang terletak di rak.Konsumen akan menganggap kaos yang ada di rak tidak terkontaminasi oleh konsumen lain. Jika kaos yang terletak di rak sudah habis, berarti hanya ada dua lokasi dimana konsumen akan mendapatkan kaos tersebut. Dalam hal ini sebagian konsumen akan tetap membeli kaos yang terletak di rak pengembalian dan sebagian konsumen akan pergi begitu saja tanpa membeli kaos apapun.

Rekomendasi untuk mencegah kekhawatiran konsumen dalam hal kontaminasi produk adalah karyawan toko harus mengetahui masalah seputar kontaminasi konsumen dan memiliki kemampuan untuk mengatasi kekhawatiran konsumen tersebut. Karyawan harus berhati-hati untuk menghilangkan bukti kontaminasi konsumen secepat mungkin di lingkungan retail. Melipat ulang, menyetok ulang, mengemas ulang, dan mengembalikan produk dengan cepat ke lokasi rak adalah contoh aktivitas sederhana yang dapat mengurangi kekhawatiran konsumen akan kontaminasi. Karyawan juga harus mendisinfeksikan produk yang telah disentuh oleh konsumen lain untuk membantu mencegah virus yang akan mencemari produk. Penerimaan kebijakan dan prosedur dari efek dan implikasi kontaminasi konsumen memberi jalan bagi integrasi yang efektif dari masalah ini ke dalam sistem dan kebijakan toko.

Kebijakan yang dibuat khusus untuk menanggapi hasil kontaminasi memberikan arahan dan sarana untuk mengelola implikasi negatif dari fenomena ini. Misalnya, toko dapat mengadopsi klasifikasi “Open Box Product”, yang menjelaskan produk yang telah ditangani, dibuka, atau kemasannya telah rusak akan diberikan diskon dan garansi utuh, akan tetapi kebijakan tersebut meminta pelabelan “Kotak Terbuka” untuk produk dan diskon harga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *